Skip to main content
Tommy Soeharto Capres 2019? Kalian Sedang Bercanda, Bukan?
Tommy Soeharto Capres 2019? Kalian Sedang Bercanda, Bukan?
VIPdomino.com - politik tanah air belakangan semakin dinamis sehingga mengerucutkan satu hasil yang barangkali tidak pernah diduga sebelumnya: Tommy Soeharto hendak didorong sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2019.
Tommy? Kalian sedang bercanda, bukan? Saya tidak tahu pasti. Namun secara pribadi saya menganggapnya demikian dan karenanya tergerak untuk membuka kembali satu di antara "mutiara" yang dilahirkan di era Orde Baru, buku Mati Ketawa Cara daripada Soeharto.
Di buku ini saya menemukan sejumlah lelucon perihal Tommy, Hutomo Mandala Putra, anak bungsu Presiden Indonesia yang berkuasa paling lama, Soeharto.
Sesungguhnya buku ini bukan buku yang dimaksudkan untuk meledakkan tawa. Sebanyak 134 lelucon yang terdapat dalam buku ini tidak lucu. Sebaliknya, sangat miris. Sangat menyedihkan. Yang lantaran sudah sampai pada titik tertinggi hakikatnya jadi berbalik. Seperti disebut penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sajaknya, 'ada ha-ha dalam luka'. Tatkala luka sudah sangat pedih, maka yang hadir bukan lagi perih dan tangis, melainkan tawa. Segenap kesusahan, segala kemelaratan, bahkan ketidakadilan dan kematian, dipandang sebagai lelucon-lelucon yang patut ditertawakan.
Di luar itu, sepotong demi sepotong, dari buku ini dapat diperoleh gambaran perihal Orde Baru dan orang-orang kuatnya. Termasuk Tommy Soeharto. Bagaimana lantaran statusnya sebagai anak presiden, Tommy bertindak laksana pangeran. Lelucon di awal tulisan ini, yang berjudul Rahasia Tommy Menang Balapan, menunjukkan betapa besar kuasa dan pengaruhnya. Betapa Tommy sebagai anak presiden menguasai dan bisa mengatur dan membagi-bagikan proyek pada koleganya.
Terlepas apakah lelucon ini cuma karang-karangan untuk lucu-lucuan yang sengaja disampaikan secara sarkastis, pada kenyataannya posisi Tommy yang istimewa dalam percaturan elite kekuasaan di rezim ayahnya yang berkuasa sampai 32 tahun, sama sekali tidak dapat dibantah.
Entah berapa banyak proyek raksasa yang melibatkan uang sangat banyak yang berada dalam genggamannya. Untuk menyebutkan beberapa saja ada pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang memonopoli penjualan cengkeh lewat PT Kembang Cengkih Nasional, proyek mobil nasional melalui PT Timor Putra Nasional, dan tukar guling (ruislag) gudang Bulog seluas 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara oleh PT Goro Batara Sakti.
Bagaimana proyek-proyek ini mengalirkan uang ke kocek Tommy dan di lain sisi makin membuat rakyat nyungsep dalam kesengsaraan, barangkali terlalu panjang untuk dipapar di sini. Silakan cari sendiri. Google masih menyimpan rekam dan jejak peristiwa-peristiwa ini di temboloknya yang luar biasa dahsyat itu.
Pastinya, kasus terakhir menyeret Tommy Soeharto ke pengadilan dan membuatnya dituding terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang memvonisnya bersalah atas kasus ini.
Pada 22 September 2000, Syafiuddin Kartasasmita menghukum Tommy 18 bulan dan mewajibkannya membayar ganti rugi Rp 30 miliar dan denda Rp 10 juta. Syarifuddin tewas ditembak 26 Juli 2001. Penembaknya, Mulawarman dan Noval Hadad, yang ditangkap pada 7 Agustus 2001, mengaku mereka melakukan pembunuhan atas suruhan Tommy yang telah menghilang sejak 3 November 2000, pascapermohonan grasinya ditolak Presiden Abdurrahman Wahid.
Bukan cuma pembunuhan hakim agung, menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya waktu itu, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, Tommy juga ditengarai terlibat aksi pemboman di Jakarta. Dia akhirnya menyerahkan diri setelah buron selama lebih satu tahun.
Tommy dibui di Nusa Kambangan, total 15 tahun, namun kemudian dipotong menjadi 10 tahun setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan tim pengacaranya. Sepanjang 2002-2005, dia juga mendapatkan remisi sebanyak enam kali dan bebas bersyarat pada 30 Oktober 2006.
Setelah itu Tommy Soeharto kembali "menghilang". Satu tahun, dua tahun, sampai kurang lebih delapan tahun dia tidak pernah betul-betul menampakkan diri. Muncul sesekali sebagai bayang- bayang dari masa lalu yang muram.
Sampai pada Pemilu 2014. Pelan-pelan Tommy keluar dari "persembunyian", melakukan aktivitas- aktivitas yang lebih berterus-terang, tak lagi berahasia. Tommy menunjukkan ambisi. Apakah itu? Membangkitkan kembali kekuatan dan kekuasaan Orde Baru, dalam hal ini yang direpresentasikan lewat Keluarga Cendana.
Upaya ini, kita tahu, gagal di 2014. Kutub yang bersebarangan dengan Orde Baru, Megawati Soekarnoputri, kembali jadi penguasa. Partainya, PDI Perjuangan, mengantarkan Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia, mengalahkan Prabowo Subiyanto, bekas kakak ipar Tommy.
Prabowo berkemungkinan untuk kembali ke kancah pertarungan di 2019. Dia masih punya kekuatan untuk bersaing. Namun Tommy, setidaknya sampai sejauh ini, berjalan ke arah yang sama. Tommy makin berterus terang. Makin menunjukkan ambisi. Dia ingin jadi presiden juga.
Sampai di sini muncul pertanyaan. Apakah Tommy Soeharto serius? Tentu saja keinginan untuk menjadi presiden adalah hak tiap warga negara. Namun hak dan syarat dan peraturan adalah hal-hal yang berbeda. Jika dia serius, tentu dia paham betul betapa statusnya sebagai mantan narapidana kasus berat, korupsi dan konspirasi pembunuhan, bakal menjegal langkahnya ke istana. Jika dia serius, tentu dia sudah berhitung-hitung perihal potensi peluang.
Apakah dengan kekuatannya sekarang dia mampu mengalahkan Joko Widodo dan Prabowo? Atau jangan-jangan ini sekadar bagian dari strategi Tommy untuk menguasai Indonesia lewat tangan orang lain?Terlepas dari hitung-hitungan ini, kembalinya Tommy Soeharto ke panggung politik nasional dan dielu-elukan laksana seorang juru selamat yang suci dan mulia, semakin menegaskan betapa banyak orang Indonesia adalah orang yang pemaaf sekaligus pelupa.
Comments
Post a Comment